Mencari Makna Mediasi dalam Perkara Perceraian : Antara Kepastian Hukum dan Keadilan Analisis

Mencari Makna Mediasi dalam Perkara Perceraian : Antara Kepastian Hukum dan Keadilan Analisis

 

Artikel Oleh: Karina Birdy Samara-Mahasiswa Fakultas Hukum UBB (Universitas Bangka Belitung)

 

Babel,VissionNews.Com- Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Namun realitas berbicara lain—angka perceraian terus meningkat.

Di Kabupaten Karawang saja, tercatat 2.200 perkara perceraian dalam periode Januari-Juli 2019. Fenomena ini mendorong Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 yang mewajibkan mediasi untuk semua perkara perdata, termasuk perceraian. Mediasi diharapkan menjadi jembatan perdamaian yang dapat menyelamatkan rumah tangga sekaligus mengurangi beban pengadilan.

Dalam praktiknya, mediasi perkara perceraian menghadapi tantangan besar. Tingkat keberhasilannya masih rendah—data PA Karawang menunjukkan hanya 9-10% mediasi yang berhasil mendamaikan. Sebagian besar perkara tetap berlanjut ke persidangan karena para pihak sudah bulat tekad untuk bercerai.

Namun, Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 3270/Pdt.G/2023/PA.Dpk menampilkan fenomena yang lebih kompleks: bagaimana jika mediasi “berhasil sebagian”?

Ketika Mediasi Berhasil Sebagian

Dalam kasus tersebut, seorang suami mengajukan cerai talak dengan alasan pertengkaran sejak 2015. Proses mediasi dilaksanakan sesuai PERMA, dan hasilnya mengejutkan.

Para pihak berhasil mencapai kesepakatan mengenai nafkah iddah Rp45 juta, mut’ah berupa mobil Wuling, hak asuh anak kepada ibu, nafkah anak Rp7,5 juta per bulan, dan rumah untuk anak-anak. Kesepakatan ini menunjukkan para pihak beritikad baik dan siap berpisah secara dewasa.

Namun, Majelis Hakim justru menolak permohonan cerai talak dengan pertimbangan para pihak belum berpisah tempat tinggal minimal 6 bulan sebagaimana SEMA Nomor 1 Tahun 2022. Faktanya, mereka masih tinggal serumah dan masih “satu ranjang” pada November 2023. Akibatnya, seluruh kesepakatan mediasi bernilai ratusan juta rupiah menjadi sia-sia dan tidak dapat dilaksanakan.

*Dilema Hukum : Kepastian vs Keadilan*

Dari perspektif kepastian hukum, putusan ini dapat dibenarkan. SEMA Nomor 1 Tahun 2022 tegas mensyaratkan pemisahan tempat tinggal minimal 6 bulan untuk perceraian dengan alasan pertengkaran. Penerapan konsisten aturan ini mencerminkan komitmen mempersulit perceraian dan memberi waktu bagi pasangan untuk merenung. Apalagi fakta anak kedua lahir tahun 2019—empat tahun setelah “pertengkaran sejak 2015″—menunjukkan rumah tangga masih harmonis.

Namun dari perspektif keadilan substantif, putusan ini menimbulkan pertanyaan. Kesepakatan mediasi yang telah dicapai menunjukkan para pihak sudah dewasa menghadapi kenyataan bahwa perkawinan mereka tidak dapat dipertahankan. Mereka tidak saling menyalahkan, tidak bertengkar di persidangan, bahkan sudah mengatur masa depan anak-anak dengan baik. Bukankah ini juga bentuk keberhasilan mediasi—meski bukan dalam arti “rujuk”, tetapi “pisah dengan baik”?

*Fungsi Ganda Mediasi*

Di sinilah kita perlu merenungkan kembali makna mediasi dalam perkara perceraian. Literatur menyebutkan mediasi tidak hanya berfungsi mendamaikan agar para pihak rujuk, tetapi juga “memisahkan para pihak dengan cara yang baik serta meminimalisasi konflik” (Sartika Dewi, 2020).

Dalam konteks ini, mediasi kasus PA Depok sebenarnya berhasil menjalankan fungsi keduanya: meski gagal merujukkan, mediasi berhasil mengubah konflik destruktif menjadi kesepakatan konstruktif.

Sayangnya, PERMA Nomor 1 Tahun 2016 hanya mengenal tiga kategori hasil mediasi: berhasil (rujuk), tidak berhasil (tidak ada kesepakatan), atau tidak dapat dilaksanakan (ada pihak tidak hadir). Kategori “berhasil sebagian” seperti kasus ini tidak diatur, sehingga sistem hukum tidak memiliki mekanisme untuk menghargai kesepakatan parsial yang telah dicapai.

Kendala dan Upaya Optimalisasi

Penelitian Febri Handayani & Syafliwar (2017) mengidentifikasi kendala utama mediasi : keinginan kuat para pihak untuk cerai, konflik berkepanjangan, keterbatasan mediator bersertifikat, fasilitas kurang memadai, dan campur tangan advokat yang tidak konstruktif.

Untuk mengoptimalkan mediasi, diperlukan upaya seperti : mediator yang memiliki kemampuan psikologi dan komunikasi, ruang mediasi yang nyaman, pelaksanaan kaukus untuk menggali akar masalah, dan yang terpenting—penjelasan sejak awal tentang konsekuensi hukum.

Dalam kasus PA Depok, seandainya mediator atau hakim pemeriksa perkara memberi peringatan sejak awal bahwa gugatan belum memenuhi syarat formil karena belum pisah 6 bulan, para pihak dapat memutuskan apakah tetap ingin melanjutkan mediasi atau menunda permohonan. Ini akan menghemat waktu, tenaga, dan biaya, sekaligus menghindari frustrasi karena kesepakatan yang sudah susah payah dicapai menjadi sia-sia.

Rekomendasi

Sistem hukum perlu menyesuaikan diri dengan realitas lapangan. PERMA perlu direvisi untuk mengakui kategori “mediasi berhasil sebagian” dan memberikan nilai yuridis pada kesepakatan parsial. SEMA Nomor 1 Tahun 2022 perlu menyediakan pengecualian: jika mediasi menghasilkan kesepakatan konkret yang menunjukkan iktikad baik, syarat “pisah 6 bulan” dapat dikesampingkan. Mediator juga perlu diberdayakan untuk memberikan penjelasan tentang kelayakan formil gugatan sejak tahap pra-mediasi.

Penutup

Mediasi adalah instrumen berharga dalam sistem peradilan agama. Namun efektivitasnya tidak hanya diukur dari berapa banyak pasangan yang berhasil rujuk, tetapi juga dari berapa banyak konflik yang dapat diselesaikan dengan cara bermartabat. Kasus PA Depok mengajarkan bahwa kadang “pisah dengan baik” adalah bentuk keberhasilan mediasi yang juga perlu dihargai oleh sistem hukum. Hukum harus adaptif terhadap realitas sosial tanpa mengorbankan prinsip mempersulit perceraian. Keseimbangan inilah yang akan membuat mediasi benar-benar efektif sebagai alat perdamaian.

Share

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *